Duo Menel

Duo Menel
Patung Welkom 3183

Jumat, 04 September 2009

SEJARAH ALLAHU AKBAR DALAM DIRI KITA

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Apa gerangan yang kita alami sehingga jiwa kita bergolak dan menyuruh mulut kita mengumandangkan “Allah Maha Besar!”?
Adakah kita menghayati alam yang besar, agung dan kaya raya? Adakah kita mengagumi keselamatan hidup kita di tengah berbagai ancaman sehari-hari? Adakah kita menyukuri nikmat yang tak habis-habisnya? Kemurahannya yang tak berhenti di tengah dosa-dosa kita?

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Tadi kita berwudhu, mencuci mua, tangan, rambut, telinga, kaki, berangkat membersihkan seluruh anasir diri kita. Kemudian kita memasuki shalat dan menggumamkan Allahu Akbar, kenapa?

Dan sesudah kita berikrar inna shalati wanusuki wamahyaaya dan kemudian iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in….kemudian kita berangkat ruku’ dengan mengucapkan Allahu Akbar. Kenapa?
Tatkala kembali berdiri kita ucapkan “Allah mendengarkan siapa pu yang memuji-Nya”, lantas berangkat sujud, dan seterusnya dan sujud lagi, dengan ucapan Allahu Akbar. Kenapa?

Apakah ketika kita mengemukakan kepada Allah “inni wajjahtu wajhiya lulladzii fatharassamawati wal-ardh…..” kita benar-benar sadar dan menikmati bahwa kita sedang menghadap Allah yang merajai langit dan bumi? Apakah telah kita rambah dan angkut kesadaran langit dan kesadaran bumi itu untuk memasuki shalat? Apakah kita mengerti ucapan itu mendidik kita untuk berperspektif kosmopolit? Ber-kaffah. Maka kenapa di setiap tahap penghayatan itu selalu kita ucapkan Allahu Akbar?

Dan apa sesungguhnya klimaks Allahu Akbar itu selama idul fitri? Dengan kejiwaan macam apa Allahu Akbar itu terloncat dari mulut kita?

Apakah kita takjub kepada-Nya?

Apa pengalaman sejarah dalam diri kita yang membuat kita sedemikian takjub?

Ataukah kita mengucapkan Allahu Akbar itu seperti anak Taman Kanak-kanak mendeklamasikan Pancasila?


14 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir - Emha Ainun Nadjib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar