Duo Menel

Duo Menel
Patung Welkom 3183

Sabtu, 12 September 2009

DOA SEHELAI DAUN KERING

Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maĆ­shum dan aku bergelimang hawaĆ­
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu

22 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999

Jumat, 11 September 2009

BERSAHAJA

Seorang lelaki sangat tua siang itu lewat di depan rumah Mat Kacong sambil memikul kayu bakar.

“Mau beli kayu bakar?”

“Tidak” jawab istri Mat Kacong. Melihat orang tua yang berjualan kayu itu Mat Kacong merasa sangat kasihan. Orang setua itu tidak pantas lagi memikul beban yang agak berat. Seandainya ia punya uang, ia akan membeli kayu bakar itu, biar kakek tua itu tidak lagi ke mana-mana memikul kayu. Tetapi ia sudah lama tidak punya uang.

Satu jam kemudian kakek penjual kayu itu lewat lagi di depan rumah Mat Kacong. Agaknya kayu bakar yang dipikulnya masih belum laku. Mat Kacong tidak kuasa menahan rasa kasihan kepada kakek tua itu.

“Tolonglah dibeli Pak, kayu bakar ini” ujar kakek itu. “Saya ingin memberi makan cucu saya yang yatim.”

“Saya tidak punya uang Pak,” ujar Mat Kacong. “Begini saja, Bapak silakan istirahat di sini dulu, saya akan menjualkan kayu Bapak ini.”

Mat Kacong lalu memikul kayu itu. Kakek tua itu tak bisa berbuat apa-apa atas ulah orang aneh itu. Mat Kacong dengan langkah cepat membawa kayu itu ke rumah Pak Mat Sambun. Pak Mat Sambun memang sahabat baiknya.

“Lho, ada apa kau bawa kayu bakar kemari Mat?”

“Tolong, kayu bakar milik sahabat saya, ia seorang kakek tua yang ingin memberi makan cucunya yang yatim. Tolong, belilah kayu ini.”

“Akan dijual berapa Mat?”

“Biasanya, Anda beli berapa?”

“Sebentar,” ujar Mat Kacong sambil lari menuju rumahnya. Sambil tersengal ia mengajak orang tua penjual kayu itu ke rumah Pak Sambun.

“Ini yang punya kayu.”

“Akan dijual berapa kayu Bapak?”

“Seribu lima ratus rupiah.”

Tanpa tawar menawar Pak Sambun lalu membayar Rp.1500.

“Berapa kali dalam sebulan Pak Tua ini harus membawa kayu kemari?” Tanya Mat Kacong kepada Pak Sambun.

“Seminggu dua kali, Bapak bawa kayu kemari.”

Pak tua itu lalu pamit.

“Ini hadiah untukmu karena telah mengantar Pak Tua itu kemari.” Kata Pak Sambun kepada Mat Kacong.

Mat Kacong menerima uang itu dengan gembira. Dalam perjalanan pulang, Mat Kacong memberikan uang Rp.500 kepada Pak Tua.

“Ini titipan saya buat si yatim.” Ujar Mat Kacong.


21 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Kamis, 10 September 2009

DOA KHUSUK

Malam itu ada ramai-ramai di sebuah rumah di kota kecil itu. Pemilik rumah, Hasan, seorang insinyur muda mengadakan syukuran karena memenangkan lomba arsitektur tingkat nasional dalam merancang sebuah bangunan besar di ibukota. Teman-teman Hasan, baik dari dalam kota maupun dari luar kota berdatangan untuk turut bergembira atas keberuntungan insinyur yang berasal dari keluarga miskin itu.

Seorang ustad memberikan sambutan pada pertemuan itu. Seperti biasa, ada ucapan terima kasih, maksud pertemuan itu, dan cerita singkat prestasi Hasan sebagai seorang arsitek. Di samping terkabulnya doa asan meraih sukses. Sambutan pun berakhir dengan permohonan maaf kalau terdapat kekurangan dalam perhelatan itu.

Ketika orang-orag sedang beramah-tamah, sang ustad menegur Mat Kacong yang ada di situ. Ia memang tahu bahwa Hasan akrab sekali dengan Mat Kacong yang lucu itu.

“Kapan kau tiba di sini Mat Kacong?”

“Tadi pagi Ustad. Ada yang kurang lengkap pada sambutan ustad tadi.”

“Apa yang tak lengkap?”

“Sebenarnya keberhasilan itu tak perlu diterangkan karena doa Hasan yang makbul, saya sebagai sahabat dekat tak yakin doa Hasan itu makbul. Saya tahu, Hasan kalau berdoa jarang khusuk.”

Semua hadirin tertawa. Hasan terpingkal-pingkal mendengan canda sahabatnya itu.

“Saya lebih yakin,” ujar Mat Kacong lagi, “yang diterima Allah agar Hasan sukses itu, ialah doa ayah dan ibu Hasan.”

Mendengan itu bergetarlah hati Hasan. Pelan-pelan ia bangkit memeluk Mat Kacong, “Selama ini kau hanya banyak bercanda, tapi saat ini benar-benar mengingatkanku terhadap jasa ayah bundaku,” ujar Hasan sambil menyeka air matanya.



20 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Rabu, 09 September 2009

BARANG BEKAS

Lima orang mahasiswa aktifis dengan membawa bantuan datang ke sebuah desa miskin.. mereka membagi-bagikan pakaian bekas, sarung, baju, pakaian wanita yang semuanya pernah dipakai itu diterima dengan senang hati oleh masyarakat desa itu.

Setelah rombongan mahasiswa itu hendak pulang., bukan hanya lambaian tangan yang mencerminkan rasa terima kasih masyarakat desa itu, bahkan pandangan mata mereka ketika hendak melepas tamu-tamu yang baik hati itu menggambarkan rasa syukur yang sangat dalam.

Seorang mahasiswa dalam mobil itu menangis seakan-akan tak kuasa menahan rasa haru.

“Tak usah engkau menangis,” ujar seorang temannya menenangkan, “Mereka sangat gembira oleh pemberian kita!”

Tapi anak muda itu seperti tidak mendengar ucapan temannya. Ia masih terus tersedu. Setelah tangisnya mulai reda, seorang temannya yang lain bertanya, “Aneh kau ini, sebenarnya engkau bergembira sehabis menggembirakan fakir miskin.”

“Saya sangat terharu, dengan diberi baju bekas saya rasa terima kasihnya sudah sedalam itu, apalagi kalau yang kita berikan berupa pakaian baru, yang belum pernah kita pakai. Sayang, keikhlasan kita berinfaq masih kelas barang bekas. Kapan kita bisa meningkatkan keikhlasan hati kita untuk berinfaq dengan barang-barang yang sangat kita senangi.”



19 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Selasa, 08 September 2009

NYAMUK

Pada suatu sore Mat Kacong lewat di depan warung kopi menuju arah barat. Seorang anak muda yang sedang minum kopi mengajak Mat Kacong singgah di warung itu, “Mari singgah, Pak Mat!”

“Orang yang singgah di warung kopu itu harus minum kopi,” sergah Mat Kacong.

“Anda saya ajak singgah agar Anda minum kopi,” kata anak muda yang mengajaknya singgah.

“Orang yang minum kopi di warung itu harus punya uang. Kalau hanya minum tapi tidak bayar, kasihan kepada orang yang punya warung. Saya tidak ingin menyusahkan orang yang punya warung.”

“Begini, Pak Mat,” kata anak muda itu, “asalkan Pak Mat bisa menjawab pertanyaan saya, saya akan mentraktir minum kopi dengan makan dua potong pisang goring.”

“Sungguh?” Tanya Mat Kacong yang masih berdiri di depan warung.

“Ya, Sungguh.”

“Ayo, apa pertanyaanmu?”

“Begini, tiap lewat tengah malam saya selalu diganggu oleh gigitan nyamuk yang dating ke kamar saya. Sebenarnya, apa sih, maksud Tuhan itu menciptakan nyamuk?”

Mat Kacong berpikir beberapa jenak. Kemudian menjawab, “begini, dengan diciptakannya nyamuk, sebagian orang-orang mendapat keuntungan dari membuat dan berjualan obat nyamuk. Semakin banyak nyamuk, semakin beruntung pabrik dan orang yang berjualan obat nyamuk. Secara khusus, nyamuk yang mengganggumu lewat tengah malam itu diciptakan untuk membangunkan kamu agar kamu melakukan shalat tahajud.”

“Kalau begitu, kapan saya punya kesempatan untuk tidur panjang?”

“Nanti saja seelah kamu berada dalam kubur,” jawab Mat Kacong.

Semua yang mendengar tersenyum puas, lalu Mat Kacong dipersilakan menyeruput kopi panas dan makan pisang goreng.



18 Ramadan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Senin, 07 September 2009

PENGAKUAN

Seorang pejabat di sebuah kantor, sehabis salat zuhur mengajak salah seorang karyawannya berbicara empat mata di ruangan kepala yang agak luas dan sepi itu. Oleh karyawan yang berada diperingkat bawah itu, hal seperti itu dianggap kejadian tidak seperti biasanya. Sebelum percakapan dimulai, karyawan yang sudah hampir pensiun itu terheran-heran. “Apa gerangan yang hendak diutarakan atasanku ini?” pikirnya.
“Pak!” ujar pejabat itu memulai percakapan, “Saya ini mendapat gaji cukup besar. Selain itu masih mendapat tunjangan macam-macam. Selain itu masih berbuat ini dan itu.”
“Ini dan itu yang bagaimana, Pak?” Tanya karyawan tua itu.
“Terus terang, secara jujur saya akui, sesekali saya mendapatkan uang gelap.”
“Uang gelap bagaimana, Pak?” Tanya karyawan tua itu lugu.
“Terus terang, uang hasil korupsilah. Tetapi sampai sekarang saya belum merasa mendapat apa-apa. Rumah yang saya tempati sekeluarga itu rumah cicilan, dan sampai sekarang belum lunas. Anak-anak saya yang dua itu semuanya gugur kuliah sebelum mendapat titel sarjana. Sedangkan sampeyan yang gajinya sangat kecil, tidak melakukan ini itu seperti saya, hidupnya tampak sangat bahagia. Anak sampeyan yang pertama lulus perguruan tinggi dengan nilai cemerlang langsung diangkat jadi dosen. Dalam hal keluarga saya merasa kalah bersaing dengan sampeyan.”
“Saya tidak merasa bersaing dengan Bapak. Sungguh. Saya hanya menjalankan hidup ini dengan kemampuan yang saya miliki.”
“Nah, itulah keberuntungan sampeyan. Sekarang saya ingin bertanya, bagaimana caranya sampeyan mengatur hidup ini?”
“Saya tidak pernah merasa mengatur hidup ini. Saya hanya berikhtiar. Lalu saya merasa senang kalau diri ini mau diatur oleh Allah.”


17 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani Dari Madura – D. Zawawi Imron

Minggu, 06 September 2009

AL AAKHIR

Adakah engkau pikir
Ia, Sang Maha Akhir
Di satu titik, akan berakhir?

Kata akhir hanya sebuah tanda
Ujung pembayangan kita

Akhir kita: selesai
Sedang Akhir-Nya abadi

Adakah engkau kira
Awal dan Akhir
Bagi-Nya berbeda?

Awal mula
Tak terletak di dahulu kala
Dan Akhir
Bukan di kelak sana

Waktu bisa berpangkal ujung
Tapi ia, mengatasi segala hukum

Tak seperti akhir kita yang fakir
Akhir Allah bukan akhir
Akhir Allah tak berakhir


16 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Syair-syair Asmaul Husna – Emha Ainun Nadjib