Duo Menel

Duo Menel
Patung Welkom 3183

Sabtu, 05 September 2009

HUKUM SENGAJA MENGANGGUR

Kiai Usman, meskipun terkenal sebagai orang alim di dalam fiqh, kalau bertemu Mat Kacong suka mengajukan berbagai pertanyaan. Yang menarik bagi Kiai yang ramah dan merakyat itu, ialah jawaban-jawaban Mat Kacong yang menyegarkan. Di samping jawaban Mat Kacong yang lucu, tidak pernah dijumpai pada kitab-kitab, tetapi kalu dipikir-pikir seperti masuk akal.
Pada suatu ketika, ketika Kiai Usman habis mengimami salat Jumat menyempatkan diri menemui Mat Kacong yang sedang duduk-duduk dengan anak-anak muda di serambi mesjid. Mat Kacong dan pemuda-pemuda itu berjabat tangan dengan Kiai Usman. Mereka lalu duduk beramah-tamah di serambi mesjid desa itu.
“Mat, apa boleh aku bertanya padamu?” Tanya Kiai.
“Tentang apa, Kiai?” Mat Kacong balik bertanya.
“Tentang zakat dan haji.”
“Saya tidak pernah berzakat dan belum melaksanakan haji, apa mungkin saya bisa menjawab? Pak Kiai sendiri kan sangat pakar kalau soal zakat dan haji.”
“Tetapi aku ingin jawabanmu yang lain dari yang kubaca di dalam kitab.”
“Coba saja, Pak Kiai, bagaimaa pertanyaannya. Siapa tahu nasib saya mujur bisa menjawab agat tepat. Kalau menjawab dengan benar saya tidak mampu. Jadi jawaban yang agak tepat sajalah.”
“Baik,” jawab Kiai Usman. “Begini pertanyaannya. Mengapa zakat dan haji itu dimasukkan rukun Islam, padahal tidak setiap orang Islam mampu untuk melaksanakannya.”
Mat Kacong berpikir sambil memejamkan matanya, kemudian ucapannya, “Itu sungguh pertanyaan yang sulir dijawab Pak Kiai. Tapi jawabannya kira-kira begini. Dimasukannya zakat dan haji itu termasuk perintah Allah yang sangat penting di samping salat dan puasa. Karena keduanya sangat penting, diharap umat Islam bisa meningkatkan kerja keras berusaha untuk meraih rezeki Allah yang ada di atas bumi, agar nantinya mampu memberikan zakat kepada fakir miskin dan mampu pula untuk naik haji.”
“Menarik juga pendapatmu itu, Mat,” komentar Kiai Usman.
“Karena kerja keras sebagai wujud dari ikhtiar itu penting, maka menurut hemat saya, menganggur itu sangat tidak terpuji.”
“Terus, terus! Lanjutkan pendapatmu.:
“Ah, nanti Pak Kiai marah kepada saya.”
“Mengapa aku akan marah? Kamu kan tidak bersalah?”
“Kalau nanti ternyata pendapat saya salah, Pak Kiai tidak akan marah?”
“Tidak, Mat.”
“Sungguh, Pak Kiai?”
“Sungguh!”
“Menurut pendapat saya, karena menganggur itu tidak terpuji, bisa mungkin orang yang sengaja menganggur itu “haram” atau paling tidak “makruh.”
Mendengar itu Kiai Usman geleng-geleng kepala.
“Mengapa? Pendapat saya keliru, Pak Kiai?” Tanya Mat Kacong.
“Aku tidak berani menyalahkan atau membenarkan pendapatmu itu, tapi pendapat itu cukup menarik. Aku kira pendapatmu itu bisa dibawa ke musyawarah alim ulama. Dan ulama yang arif terhadap persoalan sosial tentu sangat tertarik kepada pendapatmu. Bahkan, bisa mungkin membenarkan pendapatmu itu.


15 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Jumat, 04 September 2009

SEJARAH ALLAHU AKBAR DALAM DIRI KITA

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Apa gerangan yang kita alami sehingga jiwa kita bergolak dan menyuruh mulut kita mengumandangkan “Allah Maha Besar!”?
Adakah kita menghayati alam yang besar, agung dan kaya raya? Adakah kita mengagumi keselamatan hidup kita di tengah berbagai ancaman sehari-hari? Adakah kita menyukuri nikmat yang tak habis-habisnya? Kemurahannya yang tak berhenti di tengah dosa-dosa kita?

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Tadi kita berwudhu, mencuci mua, tangan, rambut, telinga, kaki, berangkat membersihkan seluruh anasir diri kita. Kemudian kita memasuki shalat dan menggumamkan Allahu Akbar, kenapa?

Dan sesudah kita berikrar inna shalati wanusuki wamahyaaya dan kemudian iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in….kemudian kita berangkat ruku’ dengan mengucapkan Allahu Akbar. Kenapa?
Tatkala kembali berdiri kita ucapkan “Allah mendengarkan siapa pu yang memuji-Nya”, lantas berangkat sujud, dan seterusnya dan sujud lagi, dengan ucapan Allahu Akbar. Kenapa?

Apakah ketika kita mengemukakan kepada Allah “inni wajjahtu wajhiya lulladzii fatharassamawati wal-ardh…..” kita benar-benar sadar dan menikmati bahwa kita sedang menghadap Allah yang merajai langit dan bumi? Apakah telah kita rambah dan angkut kesadaran langit dan kesadaran bumi itu untuk memasuki shalat? Apakah kita mengerti ucapan itu mendidik kita untuk berperspektif kosmopolit? Ber-kaffah. Maka kenapa di setiap tahap penghayatan itu selalu kita ucapkan Allahu Akbar?

Dan apa sesungguhnya klimaks Allahu Akbar itu selama idul fitri? Dengan kejiwaan macam apa Allahu Akbar itu terloncat dari mulut kita?

Apakah kita takjub kepada-Nya?

Apa pengalaman sejarah dalam diri kita yang membuat kita sedemikian takjub?

Ataukah kita mengucapkan Allahu Akbar itu seperti anak Taman Kanak-kanak mendeklamasikan Pancasila?


14 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir - Emha Ainun Nadjib

Kamis, 03 September 2009

DOA UNTUK ANAKKU

Tuhanku,
Sebelum anakku sadar akan dirinya
Jadikan antara ia dan musuh-musuhnya dinding yang Kau jaga
Tetapi sesudahnya, jangan segan kau turunkan ujian
Agar ia gagah dalam melayani kehidupan

Tuhanku
Kokohkan kedua kakinya, yang berdiri di antaranya
Kemerdekaan dan belenggunya
Janganlah Kau manjakan ia,
Janganlah Kau istimewakan kemurahan baginya
Agar ia cepat mengenali dirinya
Dan mengerti bahasa tetangganya.
Hukumlah ia jika meminta kemenangan
Sebab, itu berarti mendoakan kekalahan bagi sesamanya

Tuhanku,
Cambuklah punggungnya, agar tahu bahwa ia butuh kawannya
Untuk melihat punggung yang tak tampak olehnya

Tuhanku
Semoga atas nama-Mu, ia mampu bergaul dengan-Mu

Amin


13 Ramadhan 1430H

Rabu, 02 September 2009

HUJAN AL-MUKARRAM

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.

Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa, berjalan biasa.

Hujan itu baik, apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi. Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa’ segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.

Padahal kita ini mahluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kok kita bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala. Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kita pun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.

Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Disamping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rahmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan beberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan. Seperti juga tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia toll mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.

Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.

O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP? Surat-surat ini itu? Itu bisa dibungkus plastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci. Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.

Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh ‘metode’ lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.

Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!

Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau di atas celana tak ada kaos, masuk super market, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!

Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.

Hujan al-mukarram kekasihku! Kau dirindukan dan diperlukan untuk beberapa kepentingan. Tapi kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrad denganmu secara pribadi.


12 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Selasa, 01 September 2009

TANGIS 40 HARI 40 MALAM

Sesudah melakukan dosa terkutuk itu, Daud, Sang Nabi, menangis 40 hari 40 malam.
Ia bersujud. Tak sejenakpun mengangkat kepalanya.

Keningnya bagai menyatu dengan tanag. Air matanya meresap membasahi tanah tandus itu sehingga tumbuhlah rerumputan. Rerumputan itu kemudian meninggi merimbun dan menutupi kepalanya.

Allah menyapanya.

Bertambah nangis ia, meraung dan terguncang-guncang. Pepohonan di sekitarnya bergayut berdesakan satu sama lain mendengar raungan itu, kemudian daun-daunnya rontok, kayu-kayunya mongering, oleh duka derita dan penyesalan Daud yang diresapinya.

Dan Allah masih juga ‘menggoda’nya: “Daud, engkau lupa akan dosamu. Engkau hanya ingat tangismu.”

Dan sang Nabi terus berjuang dengan air matanya.

Air mata kehidupan Daud bagai samudera. Kesungguhan Daud terhadap nilai-nilai ketuhanan – ya nilai kehidupan itu endiri – bagai samudera.

Adapun saya, yang hidup ribuan tahun sesudah Daud, hanya pernah menitikkan air mata beberapa cangkir. Juga apa yang saya bisa sebut air mata ruhani saya.
Di dalam zaman yang telah jaun maju ke depan ini, barangkali saya bersemayan di kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.


11 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Minggu, 30 Agustus 2009

Berjilbab Pilhanku oleh : Zulfahmi Zaim

Kisah di bawah ini disajikan sebagaimana pengalaman yang dituturkan oleh Sang Pelaku kepada Penulis dan atas seijin beliau, Penulis mencoba menuangkan dalam bentuk artikel ini sebagai bahan renungan dan semoga dapat memberikan hikmah dan manfaatnya bagi kita semua khususnya bagi kaum Hawa. Selamat membaca
Suatu ketika terjadi dorongan yang sangat kuat di dalam jiwa dan bathin saya untuk merubah penampilan sebagai seorang muslimah sejati yang mewajibkan untuk menutup aurat pada bagian tubuh dari pandangan laki-laki lain yang bukan muhrim saya. Dorongan ini terus berkecamuk di dalam jiwa dan bathin saya, kenapa ini saya alami justru pada saat saya sedang diberi kenikmatan dunia yang hidup di suatu negara mode yang sangat terkenal Perancis, dimana setiap musim kita bisa melihat perubahan mode hasil karya para perancang dunia yang terkenal. Sekalipun saya tidak mungkin menggunakan mode dan gaya hasil adi karya mereka, namun wanita mana yang tidak ingin mempunyai penampilan yang menarik sesuai dengan mode yang sedang trend saat itu, Sekalipun hanya sekedar menggunakan gaun yang saya beli sesuai dengan kemampuan ekonomi saya (yang pasti jauh lebih rendah nilai ekonomisnya dibanding buatan para perancang terkenal tadi), bagi saya itu sudah cukup memuaskan hati saya untuk bisa berpenampilan menarik
Obsesi untuk segera merubah penampilan saya dengan menggunakan pakaian muslimah yang dapat menutup aurat saya dengan menggunakan JILBAB, terus berkecamuk di dalam jiwa dan bathin saya, Sekalipun Alhamdulillah saya tidak melupakan kawajiban saya untuk melaksanakan Sholat 5 waktu dan amal ibadah lainnya. Namun di sisi lain, setiap saat dan dimanapun saya berada, selalu diperlihatkan dengan pemandangan wanita-wanita yang berpakaian modern dan trendy, yang tentunya mereka itu adalah para wanita non muslim, Hanya sedikit sekali saya melihat wanita yang menggunakan pakaian muslimah dengan berjilbab, karena memang di negeri ini populasi umat muslimnya sedikit hanya sekitar 15%.
Lama saya berpikir dengan kegalauan dan kegalutan yang ada di dalam hati dan bathin saya. Namun Alhamdulillah berkat anugrah dan hidayah Allah SWT serta dorongan dan motivasi yang diberikan oleh suami serta keluarga saya, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan JILBAB. Saya dan suami mencari pakaian muslimah dan JILBAB yang sesuai dengan ukuran badan dan wajah saya. Kami datangi tempat-tempat yang banyak terdapat pertokoan muslim. Kami mencari dari satu toko ke toko lainnya, dari satu mall ke mall lainnya, dari hari pekan satu ke hari pekan lainnya, namun rupanya saya masih mendapat ujian dari Allah SWT, ternyata untuk mendapatkan pakaian muslimah dan JILBAB yang sesuai dengan keinginan tidaklah mudah.
Entah mungkin sudah hampir 3 bulan sejak saya memutuskan untuk menggunakan JILBAB, namun masih belum bisa mendapatkannya di negeri ini. Ternyata tidak mudah untuk mendapatkan ukuran yang sesuai dengan ukuran orang Asia. Dengan tekad dan niat yang baik, Allah SWT tidak pernah menutup jalan bagi umatnya yang terus berdoa dan berusaha, hingga akhirnya suatu ketika ada kawan saya yang akan ke Indonesia. Tentunya kesempatan ini tidak saya sia-siakan, saya titip kepada kawan saya agar dapat dibawakan JILBAB dari Indonesia yang mestinya bisa sesuai dengan ukuran saya. Namun ternyata ujian ini belum berakhir dan memang tidak mudah untuk memutuskan merubah penampilan dengan menggunakan gaun muslimah yang dapat menutup aurat, karena setelah JILBAB ini saya terima dari kawan, saya masih bimbang dan ragu untuk menggunakannya. Saya masih berkaca, apakah saya pantas, apakah saya sudah cocok, apakah tidak akan mengganggu aktivitas saya dan yang utama adalah apakah saya dapat merubah sifat saya. Untuk menutupi kegalauan hati dan perasaan jiwa, saya katakan kepada suami bahwa JILBAB yang ada tidak sesuai dengan ukuran kepala saya (terlalu besar), jawaban itulah yang keluar dari mulut saya ketika suami menanyakan : ”kenapa JILBAB nya belum dipakai” ?. Saya dan suami masih belum menyerah dengan keadaan ini, karena suami saya ingat pesan kawannya: ”Tidak ada yang tidak bisa, yang ada hanya mau atau tidak”. Ketika ada lagi suami kawan saya yang akan ke Indonesia, saya titip lagi JILBAB kepadanya.
Hari pertama saya menggunakan JILBAB keluar rumah di saat pergantian tahun baru tepatnya tanggal 14 Pebruari 2008, setelah saya memaksakan bahwa saya harus mampu melawan godaan dan mengatasi ujian ini, saya mengalami peristiwa yang tidak pernah saya alami sebelumnya selama lebih dari 1 tahun tinggal di negeri ini. Orang-orang yang saya tidak kenal apakah dia wanita maupun pria, mereka memberikan salam dengan ucapan “Assalamu’alaikum” yang tentunya saya terkejut sambil membalas salam mereka dengan ucapan “Wa’alaikumsalam“. Mengalami peristiwa seperti itu di negeri yang mayoritas non muslim, sangat berkesan dan bermakna sekali bagi saya, sehingga semakin menambah keyakinan saya bahwa jika Allah SWT sudah punya kehendak, maka terjadilah "kun fayakuun”, tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghalangi kehendaknya, Maha suci Allah yang di tanganNya memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.
Alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah yang Engkau berikan kepada hamba Mu yang tidak berdaya ini, Allah SWT telah merubah hidup saya, tidak saja dari segi penampilan secara phisik, tetapi juga Insya Allah dari segi mentalitas dan rohani. Saya merasakan adanya perbedaan dalam menjalankan ibadah dan kewajiban saya selaku Muslimah terasa lebih khusuk dan dalam kehidupan sehari-hari, terasa lebih tenang dan menjauhi segala perbuatan yang telah Engkau larang. Untuk mensyukuri anugerah dan hidayah yang telah Allah SWT berikan kepada saya dan keluarga, Insya Allah pada tahun 2008 ini saya berserta suami berencana akan melaksanakan ibadah haji. Mohon doa dari para Pembaca, Terima kasih.

10 Ramadhan 1430H / Kiriman dari Paris - Zulfahmi Zaim

MUSABAQAH "T" QUR'AN

Kita sedang berkhusyuk-khusyuk mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an di Bandar Lampung. Kali ini bahkan para gajah pun ikut memeriahkan.

Tetapi pasti, gajah-gajah itu bukanlah lambing dari sebuah kekuatan yang dulu dilempari batu-batu oleh burung ababil.

Tilawah Al-Qur’am itu bukan saja gagah, indah, namun juga nikmat. Ketika di pesantren Gontor dulu, ketika vocal saya masih pra remaja, masih bersih dan kung, belum kena rokok dan begadang, ‘lagu pop’ saya adalah alunan lagi ayat-ayat Allah. Kalau membaca dalam pertemuan di gedung, saya suka melengking-lengking sambil melirik apa reaksi al-mukarran Kiai. Kalau beliau manthuk-manthuk, hati bagai di siram embun, dada mekar, kepala membesar.

Sekadar untuk pamer: beberapa tahun saya tak terlawan dalam MTQ di pesantren, bahkan se-Kabupaten Ponorogo. Sayang MTQ Nasional belum ada. Padahal kalau ada, saya akan sesumbar, “Lihat saja nanti di atas ring!” sambil nonton persiapan festival reog ponorogo yang mestinya bisa ikut memeriahkan MTQ Nasional itu.
Baru sesudah saya di Yogya, ada MTQ besar-besaran. Bagaikan Laary Holmes, saya pun come back. Merintis dari bawah kembali. Saya daftarkan diri di MTQ tingkat RT dulu di Kadipaten. Saya tanding di Masjid Kadipaten Kidul, dan langsung kalah!
Maka satu-satunya kemungkinan bagi saya sekarang hanyalah menjadi fan-nya para ahli baca Al-Qur’an. Selebihnya hanya rengeng-rengeng ngaji sambil jalan kaki melamun atau naik sepeda memelihara gengsi sosial.

Apakah mungkin diselenggarakan Musabaqah “T” Qur’an yang lain? Jadi, bukan hanya tilawah atau qira’ah. Kabarnya ada juga tafhimul Qur’an, tafsirul Qur’an. Lomba memahami dan menafsirkan. Juga mungkin tarhimul Qur’an. Menyayangi Al-Qur’an. Menyayangi bukan hanya memeluk-meluk kertas Al-Qur’an saja, tapi juga mewujudkan penuh-penuh dalam perilaku.

Ada seorang kawan khawatir bahwa sementara kita berlomba bagus-bagusan baca Al-Qur’an, kalau kita sungguh-sungguh melaksanakan Al-Qur’an dalam hidup ini, ternyata bisa mendapatkan banyak bahaya….

09 Ramadhan 1430H / dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib