Duo Menel

Duo Menel
Patung Welkom 3183

Senin, 09 November 2009

Amputasi Kaki Rekan Kita M. Riswan

Sahabats,

Pada hari sabtu 7 nov 09, saya, Mpok Fifi dan Dr. Miko serta istrinya berkesempatan mengunjungi sahabat kita, M. Riswan...
Pak Dokter berkesimpulan bahwa sudah tidak ada pilihan lain bagi Riswan kecuali amputasi kaki... dari sisi medis, kaki tersebut sebetulnya sudah membusuk dan dikhawatirkan terus menjalar mempengaruhi jaringan2 yang masih baik...
Oleh karena itu, menuruk Pak Dokter, amputasi menjadi satu2nya jalan dan harus dilakukan segera. Pak Dokter Miko saat itu langsung menghubungi temannya seorang Dokter ahli tulang (Orthopedis) dan langsung membuat janji untuk diperiksa serta dioperasi (amputasi) pada hari Sabtu tgl. 14 Nov 09 yang akan datang.
Operasi insya Allah akan dilakukan di RSUD Cibinong mengingat Dokter tersebut praktek disitu dan biayanya cenderung lebih ringan.
Biaya operasi diperkirakan berkisar antara 2 - 3 juta, ditambah biaya rawat inap, obat2an dan lain-lain sampai dengan penyembuhan.
Setelah diperhitungkan, total biaya yang diperlukan kira2 5 - 6 jt rupiah. Total biaya tersebut belum termasuk kaki palsu yang diperlukan oleh sahabat kita tersebut.
Seperti rencana semula, Paguyuban 3183 bermaksud untuk menanggung seluruh biaya sampai dengan pengadaan kaki palsu. Dukungan para Sahabat sangat diharapkan dalam merealisasikan maksud tersebut.
Untuk itu, bagi Sahabats yang berkenan memberikan bantuannya, dapat menghubungi Emil atau Dang Rp. atau kirim pesan lewat FB (group 3183)
Terima kasih atas bantuan dan dukungan Sahabats atas rencana ini. Semoga Allah melapangkan rejeki bagi kita dan mempermudah jalan bagi rencana dan niat baik ini. Insya Allah.

Kamis, 17 September 2009

TIDAK MERASA MEMILIKI HARTA

“Kemarin ada orang yang dating ke kampung saya memberikan 200 buah sarung dan 200 mukena untuk fakir miskin”

O, itu tho? Ya, Alhamdulillah kalau ada orang yang dermawan seperti itu.

“bukan itu saja, Mat!” kata sarto lagi, “bersamaan dengan itu pula ia menyumbang empat ribu bibit pohon mangga ke kampung sebelah.”

“Alhamdulillah,” seru Mat Kacong, “ia tentu orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

“Tidak itu saja,” ujar Sarto lagi, “tiga hari yan lalu orang itu telah membagikan empat puluh ekor kambing di kampung yang lain untuk meningkatkan harkat kehidupan masyarakat yang tidak mampu. Saya tidak habis pikir, benar-benar tidak habis pikir.”

“Jangan hanya bilang tidak habis pikir, ucapan itu tidak ada gunanya. Ucapkan saja Alhamdulillah, itu artinya, sambil takjub kepada seseorang kamu juga berzikir kepada Allah. Aku senang mendengar berita yang sangat menggembirakan itu. Maha Suci Allah yang telah memberi iman kepada dermawan yang kau sebut itu, emannya ia buktikan dengan sedekah. Semoga ia menjadi kekasih Allah.”

“infak yang banyak ia taburkan ke mana-mana menunjukan ia memang orang yang kaya.”

“Barangkali ia sudah tidak merasa kaya,” komentar Mat Kacong.

“Kalau tidak kaya, mana mungkin ia membagikan sedekah sebanyak itu, Mat?”

“Sobat, hendaknya kamu tahu! Orang kaya yang dermawan tidak pernah merasa memiliki harta. Ia hanya merasa ‘pengurus’ harta dan kekayaan Allah untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang lemah yang sangat membutuhkannya.”


27 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron.

Rabu, 16 September 2009

MERENDAHKAN DIRI

Manusia boleh ingin jadi dokter, jadi insinyur, para pria ingin mengawini peragawati, para wanita ingin jadi seperti peragawati, atau apa saya. Tapi malaikat, pekerjaannya cuma satu. Yakni mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Karena itu, malaikat suci bukan buatan. Bahkan mereka hanya memiliki kesucian. Malaikat yang mana saja. Baik Malaikat yang, katanya besarnya ribuan kali alam semesta. Yang terbuat dari salju. Yang lembut seperseribu tepung terigu. Atau Malaikat yang tak tergambarkan oleh konsep tiga dimensi yang dimengerti oleh manusia.

Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan oleh Allah lebih tinggi daripada Malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud kepada Adam?

Tentulah karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi peluang untuk memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya dihadapan Allah dibanding Malaikat. Apalagi dibanding iblis.

Salah satu nilai kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah merendahkan diri. Betul-betul merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan, kita bilang, “lho, saya kan bukan Malaikat!” Kita melakukan kelicikan atau kekejaman, dalam skala personal maupun sistemik, dan itu kita sebut manusiawi. Seringkali bahkan kita gagal memelihara standar kemanusiaan, terpeleset ke perilaku kebinatangan. Dan kita menghibur diri – “Toh saya bukan Malaikat”.

Padahal kita bisa lebih tinggi derajatnya dari Malaikat.

Padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan tawadhu’ (rendah hati).


26 Ramadhan 1430H

Selasa, 15 September 2009

SANG WAKTU

Ramadhan rasanya tinggal beberapa detik lagi. Senin nanti – atau minggu? – sudah Idul Fitri. Alangkah cepatnya. Sang waktu ini aneh. Terkadang begitu lambat dan memuakkan, di saat lain berlalu terlalu cepat dan menggemaskan.

Ternyata sang waktu tak bisa diukur oleh satuan ‘cepat’ atau ‘lambat’, sebab yang cepat dan lambat itu perasaan manusia. Dan perasaan kita itu ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kemana kita melangkah, dan untuk apa kita menuju ke sana.

Kalau kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, waktu jadi cepat. Kalau yang kita lakukan susah, waktu jadi lambat. Kalau kita melangkahi rakaat-rakaat tarawih, waktu lambat. Kalau kita nonton, waktu bukan main cepat. Kalau tujuan kita duniawi, waktu cepat. Kalau tujuan kita ukhrawi, waktu terasa memuakkan.

Itulah pertarungan antara jiwa melawan darah daging.

Sang waktu tidak cepat tidak lambat. Kitalah yang diberi kemerdekaan oleh Allah untuk memilih cepat atau lambat, sementara atau abadi, semu atau nyata.

Jadi kalau ramadhan terasa cepat bagi kita, Alhamdulillah, kita mungkin sudah semakin ukhrawi, semakin ‘Ilahiah’. Amien.

Karena memang demikianlah. Besok atau lusa kita akan mati. Begitu banyak hal pada kita yang akan berhenti dan sirna. Tapi karena shiratal mustaqim, tatkala nanti memasuki kubur, ada yang tak mati dari kita, yaitu amal. Amal mengabadikan kita.

Wallahualam…


25 Ramadhan 1430H

Senin, 14 September 2009

TAHAJJUD CINTAKU

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya


24 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib - 1988

Minggu, 13 September 2009

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!


23 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib - 1987

Sabtu, 12 September 2009

DOA SEHELAI DAUN KERING

Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maĆ­shum dan aku bergelimang hawaĆ­
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu

22 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999

Jumat, 11 September 2009

BERSAHAJA

Seorang lelaki sangat tua siang itu lewat di depan rumah Mat Kacong sambil memikul kayu bakar.

“Mau beli kayu bakar?”

“Tidak” jawab istri Mat Kacong. Melihat orang tua yang berjualan kayu itu Mat Kacong merasa sangat kasihan. Orang setua itu tidak pantas lagi memikul beban yang agak berat. Seandainya ia punya uang, ia akan membeli kayu bakar itu, biar kakek tua itu tidak lagi ke mana-mana memikul kayu. Tetapi ia sudah lama tidak punya uang.

Satu jam kemudian kakek penjual kayu itu lewat lagi di depan rumah Mat Kacong. Agaknya kayu bakar yang dipikulnya masih belum laku. Mat Kacong tidak kuasa menahan rasa kasihan kepada kakek tua itu.

“Tolonglah dibeli Pak, kayu bakar ini” ujar kakek itu. “Saya ingin memberi makan cucu saya yang yatim.”

“Saya tidak punya uang Pak,” ujar Mat Kacong. “Begini saja, Bapak silakan istirahat di sini dulu, saya akan menjualkan kayu Bapak ini.”

Mat Kacong lalu memikul kayu itu. Kakek tua itu tak bisa berbuat apa-apa atas ulah orang aneh itu. Mat Kacong dengan langkah cepat membawa kayu itu ke rumah Pak Mat Sambun. Pak Mat Sambun memang sahabat baiknya.

“Lho, ada apa kau bawa kayu bakar kemari Mat?”

“Tolong, kayu bakar milik sahabat saya, ia seorang kakek tua yang ingin memberi makan cucunya yang yatim. Tolong, belilah kayu ini.”

“Akan dijual berapa Mat?”

“Biasanya, Anda beli berapa?”

“Sebentar,” ujar Mat Kacong sambil lari menuju rumahnya. Sambil tersengal ia mengajak orang tua penjual kayu itu ke rumah Pak Sambun.

“Ini yang punya kayu.”

“Akan dijual berapa kayu Bapak?”

“Seribu lima ratus rupiah.”

Tanpa tawar menawar Pak Sambun lalu membayar Rp.1500.

“Berapa kali dalam sebulan Pak Tua ini harus membawa kayu kemari?” Tanya Mat Kacong kepada Pak Sambun.

“Seminggu dua kali, Bapak bawa kayu kemari.”

Pak tua itu lalu pamit.

“Ini hadiah untukmu karena telah mengantar Pak Tua itu kemari.” Kata Pak Sambun kepada Mat Kacong.

Mat Kacong menerima uang itu dengan gembira. Dalam perjalanan pulang, Mat Kacong memberikan uang Rp.500 kepada Pak Tua.

“Ini titipan saya buat si yatim.” Ujar Mat Kacong.


21 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Kamis, 10 September 2009

DOA KHUSUK

Malam itu ada ramai-ramai di sebuah rumah di kota kecil itu. Pemilik rumah, Hasan, seorang insinyur muda mengadakan syukuran karena memenangkan lomba arsitektur tingkat nasional dalam merancang sebuah bangunan besar di ibukota. Teman-teman Hasan, baik dari dalam kota maupun dari luar kota berdatangan untuk turut bergembira atas keberuntungan insinyur yang berasal dari keluarga miskin itu.

Seorang ustad memberikan sambutan pada pertemuan itu. Seperti biasa, ada ucapan terima kasih, maksud pertemuan itu, dan cerita singkat prestasi Hasan sebagai seorang arsitek. Di samping terkabulnya doa asan meraih sukses. Sambutan pun berakhir dengan permohonan maaf kalau terdapat kekurangan dalam perhelatan itu.

Ketika orang-orag sedang beramah-tamah, sang ustad menegur Mat Kacong yang ada di situ. Ia memang tahu bahwa Hasan akrab sekali dengan Mat Kacong yang lucu itu.

“Kapan kau tiba di sini Mat Kacong?”

“Tadi pagi Ustad. Ada yang kurang lengkap pada sambutan ustad tadi.”

“Apa yang tak lengkap?”

“Sebenarnya keberhasilan itu tak perlu diterangkan karena doa Hasan yang makbul, saya sebagai sahabat dekat tak yakin doa Hasan itu makbul. Saya tahu, Hasan kalau berdoa jarang khusuk.”

Semua hadirin tertawa. Hasan terpingkal-pingkal mendengan canda sahabatnya itu.

“Saya lebih yakin,” ujar Mat Kacong lagi, “yang diterima Allah agar Hasan sukses itu, ialah doa ayah dan ibu Hasan.”

Mendengan itu bergetarlah hati Hasan. Pelan-pelan ia bangkit memeluk Mat Kacong, “Selama ini kau hanya banyak bercanda, tapi saat ini benar-benar mengingatkanku terhadap jasa ayah bundaku,” ujar Hasan sambil menyeka air matanya.



20 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Rabu, 09 September 2009

BARANG BEKAS

Lima orang mahasiswa aktifis dengan membawa bantuan datang ke sebuah desa miskin.. mereka membagi-bagikan pakaian bekas, sarung, baju, pakaian wanita yang semuanya pernah dipakai itu diterima dengan senang hati oleh masyarakat desa itu.

Setelah rombongan mahasiswa itu hendak pulang., bukan hanya lambaian tangan yang mencerminkan rasa terima kasih masyarakat desa itu, bahkan pandangan mata mereka ketika hendak melepas tamu-tamu yang baik hati itu menggambarkan rasa syukur yang sangat dalam.

Seorang mahasiswa dalam mobil itu menangis seakan-akan tak kuasa menahan rasa haru.

“Tak usah engkau menangis,” ujar seorang temannya menenangkan, “Mereka sangat gembira oleh pemberian kita!”

Tapi anak muda itu seperti tidak mendengar ucapan temannya. Ia masih terus tersedu. Setelah tangisnya mulai reda, seorang temannya yang lain bertanya, “Aneh kau ini, sebenarnya engkau bergembira sehabis menggembirakan fakir miskin.”

“Saya sangat terharu, dengan diberi baju bekas saya rasa terima kasihnya sudah sedalam itu, apalagi kalau yang kita berikan berupa pakaian baru, yang belum pernah kita pakai. Sayang, keikhlasan kita berinfaq masih kelas barang bekas. Kapan kita bisa meningkatkan keikhlasan hati kita untuk berinfaq dengan barang-barang yang sangat kita senangi.”



19 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Selasa, 08 September 2009

NYAMUK

Pada suatu sore Mat Kacong lewat di depan warung kopi menuju arah barat. Seorang anak muda yang sedang minum kopi mengajak Mat Kacong singgah di warung itu, “Mari singgah, Pak Mat!”

“Orang yang singgah di warung kopu itu harus minum kopi,” sergah Mat Kacong.

“Anda saya ajak singgah agar Anda minum kopi,” kata anak muda yang mengajaknya singgah.

“Orang yang minum kopi di warung itu harus punya uang. Kalau hanya minum tapi tidak bayar, kasihan kepada orang yang punya warung. Saya tidak ingin menyusahkan orang yang punya warung.”

“Begini, Pak Mat,” kata anak muda itu, “asalkan Pak Mat bisa menjawab pertanyaan saya, saya akan mentraktir minum kopi dengan makan dua potong pisang goring.”

“Sungguh?” Tanya Mat Kacong yang masih berdiri di depan warung.

“Ya, Sungguh.”

“Ayo, apa pertanyaanmu?”

“Begini, tiap lewat tengah malam saya selalu diganggu oleh gigitan nyamuk yang dating ke kamar saya. Sebenarnya, apa sih, maksud Tuhan itu menciptakan nyamuk?”

Mat Kacong berpikir beberapa jenak. Kemudian menjawab, “begini, dengan diciptakannya nyamuk, sebagian orang-orang mendapat keuntungan dari membuat dan berjualan obat nyamuk. Semakin banyak nyamuk, semakin beruntung pabrik dan orang yang berjualan obat nyamuk. Secara khusus, nyamuk yang mengganggumu lewat tengah malam itu diciptakan untuk membangunkan kamu agar kamu melakukan shalat tahajud.”

“Kalau begitu, kapan saya punya kesempatan untuk tidur panjang?”

“Nanti saja seelah kamu berada dalam kubur,” jawab Mat Kacong.

Semua yang mendengar tersenyum puas, lalu Mat Kacong dipersilakan menyeruput kopi panas dan makan pisang goreng.



18 Ramadan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Senin, 07 September 2009

PENGAKUAN

Seorang pejabat di sebuah kantor, sehabis salat zuhur mengajak salah seorang karyawannya berbicara empat mata di ruangan kepala yang agak luas dan sepi itu. Oleh karyawan yang berada diperingkat bawah itu, hal seperti itu dianggap kejadian tidak seperti biasanya. Sebelum percakapan dimulai, karyawan yang sudah hampir pensiun itu terheran-heran. “Apa gerangan yang hendak diutarakan atasanku ini?” pikirnya.
“Pak!” ujar pejabat itu memulai percakapan, “Saya ini mendapat gaji cukup besar. Selain itu masih mendapat tunjangan macam-macam. Selain itu masih berbuat ini dan itu.”
“Ini dan itu yang bagaimana, Pak?” Tanya karyawan tua itu.
“Terus terang, secara jujur saya akui, sesekali saya mendapatkan uang gelap.”
“Uang gelap bagaimana, Pak?” Tanya karyawan tua itu lugu.
“Terus terang, uang hasil korupsilah. Tetapi sampai sekarang saya belum merasa mendapat apa-apa. Rumah yang saya tempati sekeluarga itu rumah cicilan, dan sampai sekarang belum lunas. Anak-anak saya yang dua itu semuanya gugur kuliah sebelum mendapat titel sarjana. Sedangkan sampeyan yang gajinya sangat kecil, tidak melakukan ini itu seperti saya, hidupnya tampak sangat bahagia. Anak sampeyan yang pertama lulus perguruan tinggi dengan nilai cemerlang langsung diangkat jadi dosen. Dalam hal keluarga saya merasa kalah bersaing dengan sampeyan.”
“Saya tidak merasa bersaing dengan Bapak. Sungguh. Saya hanya menjalankan hidup ini dengan kemampuan yang saya miliki.”
“Nah, itulah keberuntungan sampeyan. Sekarang saya ingin bertanya, bagaimana caranya sampeyan mengatur hidup ini?”
“Saya tidak pernah merasa mengatur hidup ini. Saya hanya berikhtiar. Lalu saya merasa senang kalau diri ini mau diatur oleh Allah.”


17 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani Dari Madura – D. Zawawi Imron

Minggu, 06 September 2009

AL AAKHIR

Adakah engkau pikir
Ia, Sang Maha Akhir
Di satu titik, akan berakhir?

Kata akhir hanya sebuah tanda
Ujung pembayangan kita

Akhir kita: selesai
Sedang Akhir-Nya abadi

Adakah engkau kira
Awal dan Akhir
Bagi-Nya berbeda?

Awal mula
Tak terletak di dahulu kala
Dan Akhir
Bukan di kelak sana

Waktu bisa berpangkal ujung
Tapi ia, mengatasi segala hukum

Tak seperti akhir kita yang fakir
Akhir Allah bukan akhir
Akhir Allah tak berakhir


16 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Syair-syair Asmaul Husna – Emha Ainun Nadjib

Sabtu, 05 September 2009

HUKUM SENGAJA MENGANGGUR

Kiai Usman, meskipun terkenal sebagai orang alim di dalam fiqh, kalau bertemu Mat Kacong suka mengajukan berbagai pertanyaan. Yang menarik bagi Kiai yang ramah dan merakyat itu, ialah jawaban-jawaban Mat Kacong yang menyegarkan. Di samping jawaban Mat Kacong yang lucu, tidak pernah dijumpai pada kitab-kitab, tetapi kalu dipikir-pikir seperti masuk akal.
Pada suatu ketika, ketika Kiai Usman habis mengimami salat Jumat menyempatkan diri menemui Mat Kacong yang sedang duduk-duduk dengan anak-anak muda di serambi mesjid. Mat Kacong dan pemuda-pemuda itu berjabat tangan dengan Kiai Usman. Mereka lalu duduk beramah-tamah di serambi mesjid desa itu.
“Mat, apa boleh aku bertanya padamu?” Tanya Kiai.
“Tentang apa, Kiai?” Mat Kacong balik bertanya.
“Tentang zakat dan haji.”
“Saya tidak pernah berzakat dan belum melaksanakan haji, apa mungkin saya bisa menjawab? Pak Kiai sendiri kan sangat pakar kalau soal zakat dan haji.”
“Tetapi aku ingin jawabanmu yang lain dari yang kubaca di dalam kitab.”
“Coba saja, Pak Kiai, bagaimaa pertanyaannya. Siapa tahu nasib saya mujur bisa menjawab agat tepat. Kalau menjawab dengan benar saya tidak mampu. Jadi jawaban yang agak tepat sajalah.”
“Baik,” jawab Kiai Usman. “Begini pertanyaannya. Mengapa zakat dan haji itu dimasukkan rukun Islam, padahal tidak setiap orang Islam mampu untuk melaksanakannya.”
Mat Kacong berpikir sambil memejamkan matanya, kemudian ucapannya, “Itu sungguh pertanyaan yang sulir dijawab Pak Kiai. Tapi jawabannya kira-kira begini. Dimasukannya zakat dan haji itu termasuk perintah Allah yang sangat penting di samping salat dan puasa. Karena keduanya sangat penting, diharap umat Islam bisa meningkatkan kerja keras berusaha untuk meraih rezeki Allah yang ada di atas bumi, agar nantinya mampu memberikan zakat kepada fakir miskin dan mampu pula untuk naik haji.”
“Menarik juga pendapatmu itu, Mat,” komentar Kiai Usman.
“Karena kerja keras sebagai wujud dari ikhtiar itu penting, maka menurut hemat saya, menganggur itu sangat tidak terpuji.”
“Terus, terus! Lanjutkan pendapatmu.:
“Ah, nanti Pak Kiai marah kepada saya.”
“Mengapa aku akan marah? Kamu kan tidak bersalah?”
“Kalau nanti ternyata pendapat saya salah, Pak Kiai tidak akan marah?”
“Tidak, Mat.”
“Sungguh, Pak Kiai?”
“Sungguh!”
“Menurut pendapat saya, karena menganggur itu tidak terpuji, bisa mungkin orang yang sengaja menganggur itu “haram” atau paling tidak “makruh.”
Mendengar itu Kiai Usman geleng-geleng kepala.
“Mengapa? Pendapat saya keliru, Pak Kiai?” Tanya Mat Kacong.
“Aku tidak berani menyalahkan atau membenarkan pendapatmu itu, tapi pendapat itu cukup menarik. Aku kira pendapatmu itu bisa dibawa ke musyawarah alim ulama. Dan ulama yang arif terhadap persoalan sosial tentu sangat tertarik kepada pendapatmu. Bahkan, bisa mungkin membenarkan pendapatmu itu.


15 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron

Jumat, 04 September 2009

SEJARAH ALLAHU AKBAR DALAM DIRI KITA

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Apa gerangan yang kita alami sehingga jiwa kita bergolak dan menyuruh mulut kita mengumandangkan “Allah Maha Besar!”?
Adakah kita menghayati alam yang besar, agung dan kaya raya? Adakah kita mengagumi keselamatan hidup kita di tengah berbagai ancaman sehari-hari? Adakah kita menyukuri nikmat yang tak habis-habisnya? Kemurahannya yang tak berhenti di tengah dosa-dosa kita?

Kenapa kita ucapkan Allahu Akbar?

Tadi kita berwudhu, mencuci mua, tangan, rambut, telinga, kaki, berangkat membersihkan seluruh anasir diri kita. Kemudian kita memasuki shalat dan menggumamkan Allahu Akbar, kenapa?

Dan sesudah kita berikrar inna shalati wanusuki wamahyaaya dan kemudian iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in….kemudian kita berangkat ruku’ dengan mengucapkan Allahu Akbar. Kenapa?
Tatkala kembali berdiri kita ucapkan “Allah mendengarkan siapa pu yang memuji-Nya”, lantas berangkat sujud, dan seterusnya dan sujud lagi, dengan ucapan Allahu Akbar. Kenapa?

Apakah ketika kita mengemukakan kepada Allah “inni wajjahtu wajhiya lulladzii fatharassamawati wal-ardh…..” kita benar-benar sadar dan menikmati bahwa kita sedang menghadap Allah yang merajai langit dan bumi? Apakah telah kita rambah dan angkut kesadaran langit dan kesadaran bumi itu untuk memasuki shalat? Apakah kita mengerti ucapan itu mendidik kita untuk berperspektif kosmopolit? Ber-kaffah. Maka kenapa di setiap tahap penghayatan itu selalu kita ucapkan Allahu Akbar?

Dan apa sesungguhnya klimaks Allahu Akbar itu selama idul fitri? Dengan kejiwaan macam apa Allahu Akbar itu terloncat dari mulut kita?

Apakah kita takjub kepada-Nya?

Apa pengalaman sejarah dalam diri kita yang membuat kita sedemikian takjub?

Ataukah kita mengucapkan Allahu Akbar itu seperti anak Taman Kanak-kanak mendeklamasikan Pancasila?


14 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir - Emha Ainun Nadjib

Kamis, 03 September 2009

DOA UNTUK ANAKKU

Tuhanku,
Sebelum anakku sadar akan dirinya
Jadikan antara ia dan musuh-musuhnya dinding yang Kau jaga
Tetapi sesudahnya, jangan segan kau turunkan ujian
Agar ia gagah dalam melayani kehidupan

Tuhanku
Kokohkan kedua kakinya, yang berdiri di antaranya
Kemerdekaan dan belenggunya
Janganlah Kau manjakan ia,
Janganlah Kau istimewakan kemurahan baginya
Agar ia cepat mengenali dirinya
Dan mengerti bahasa tetangganya.
Hukumlah ia jika meminta kemenangan
Sebab, itu berarti mendoakan kekalahan bagi sesamanya

Tuhanku,
Cambuklah punggungnya, agar tahu bahwa ia butuh kawannya
Untuk melihat punggung yang tak tampak olehnya

Tuhanku
Semoga atas nama-Mu, ia mampu bergaul dengan-Mu

Amin


13 Ramadhan 1430H

Rabu, 02 September 2009

HUJAN AL-MUKARRAM

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.

Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa, berjalan biasa.

Hujan itu baik, apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi. Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa’ segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.

Padahal kita ini mahluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kok kita bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala. Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kita pun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.

Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Disamping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rahmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan beberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan. Seperti juga tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia toll mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.

Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.

O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP? Surat-surat ini itu? Itu bisa dibungkus plastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci. Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.

Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh ‘metode’ lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.

Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!

Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau di atas celana tak ada kaos, masuk super market, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!

Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.

Hujan al-mukarram kekasihku! Kau dirindukan dan diperlukan untuk beberapa kepentingan. Tapi kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrad denganmu secara pribadi.


12 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Selasa, 01 September 2009

TANGIS 40 HARI 40 MALAM

Sesudah melakukan dosa terkutuk itu, Daud, Sang Nabi, menangis 40 hari 40 malam.
Ia bersujud. Tak sejenakpun mengangkat kepalanya.

Keningnya bagai menyatu dengan tanag. Air matanya meresap membasahi tanah tandus itu sehingga tumbuhlah rerumputan. Rerumputan itu kemudian meninggi merimbun dan menutupi kepalanya.

Allah menyapanya.

Bertambah nangis ia, meraung dan terguncang-guncang. Pepohonan di sekitarnya bergayut berdesakan satu sama lain mendengar raungan itu, kemudian daun-daunnya rontok, kayu-kayunya mongering, oleh duka derita dan penyesalan Daud yang diresapinya.

Dan Allah masih juga ‘menggoda’nya: “Daud, engkau lupa akan dosamu. Engkau hanya ingat tangismu.”

Dan sang Nabi terus berjuang dengan air matanya.

Air mata kehidupan Daud bagai samudera. Kesungguhan Daud terhadap nilai-nilai ketuhanan – ya nilai kehidupan itu endiri – bagai samudera.

Adapun saya, yang hidup ribuan tahun sesudah Daud, hanya pernah menitikkan air mata beberapa cangkir. Juga apa yang saya bisa sebut air mata ruhani saya.
Di dalam zaman yang telah jaun maju ke depan ini, barangkali saya bersemayan di kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.


11 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Minggu, 30 Agustus 2009

Berjilbab Pilhanku oleh : Zulfahmi Zaim

Kisah di bawah ini disajikan sebagaimana pengalaman yang dituturkan oleh Sang Pelaku kepada Penulis dan atas seijin beliau, Penulis mencoba menuangkan dalam bentuk artikel ini sebagai bahan renungan dan semoga dapat memberikan hikmah dan manfaatnya bagi kita semua khususnya bagi kaum Hawa. Selamat membaca
Suatu ketika terjadi dorongan yang sangat kuat di dalam jiwa dan bathin saya untuk merubah penampilan sebagai seorang muslimah sejati yang mewajibkan untuk menutup aurat pada bagian tubuh dari pandangan laki-laki lain yang bukan muhrim saya. Dorongan ini terus berkecamuk di dalam jiwa dan bathin saya, kenapa ini saya alami justru pada saat saya sedang diberi kenikmatan dunia yang hidup di suatu negara mode yang sangat terkenal Perancis, dimana setiap musim kita bisa melihat perubahan mode hasil karya para perancang dunia yang terkenal. Sekalipun saya tidak mungkin menggunakan mode dan gaya hasil adi karya mereka, namun wanita mana yang tidak ingin mempunyai penampilan yang menarik sesuai dengan mode yang sedang trend saat itu, Sekalipun hanya sekedar menggunakan gaun yang saya beli sesuai dengan kemampuan ekonomi saya (yang pasti jauh lebih rendah nilai ekonomisnya dibanding buatan para perancang terkenal tadi), bagi saya itu sudah cukup memuaskan hati saya untuk bisa berpenampilan menarik
Obsesi untuk segera merubah penampilan saya dengan menggunakan pakaian muslimah yang dapat menutup aurat saya dengan menggunakan JILBAB, terus berkecamuk di dalam jiwa dan bathin saya, Sekalipun Alhamdulillah saya tidak melupakan kawajiban saya untuk melaksanakan Sholat 5 waktu dan amal ibadah lainnya. Namun di sisi lain, setiap saat dan dimanapun saya berada, selalu diperlihatkan dengan pemandangan wanita-wanita yang berpakaian modern dan trendy, yang tentunya mereka itu adalah para wanita non muslim, Hanya sedikit sekali saya melihat wanita yang menggunakan pakaian muslimah dengan berjilbab, karena memang di negeri ini populasi umat muslimnya sedikit hanya sekitar 15%.
Lama saya berpikir dengan kegalauan dan kegalutan yang ada di dalam hati dan bathin saya. Namun Alhamdulillah berkat anugrah dan hidayah Allah SWT serta dorongan dan motivasi yang diberikan oleh suami serta keluarga saya, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan JILBAB. Saya dan suami mencari pakaian muslimah dan JILBAB yang sesuai dengan ukuran badan dan wajah saya. Kami datangi tempat-tempat yang banyak terdapat pertokoan muslim. Kami mencari dari satu toko ke toko lainnya, dari satu mall ke mall lainnya, dari hari pekan satu ke hari pekan lainnya, namun rupanya saya masih mendapat ujian dari Allah SWT, ternyata untuk mendapatkan pakaian muslimah dan JILBAB yang sesuai dengan keinginan tidaklah mudah.
Entah mungkin sudah hampir 3 bulan sejak saya memutuskan untuk menggunakan JILBAB, namun masih belum bisa mendapatkannya di negeri ini. Ternyata tidak mudah untuk mendapatkan ukuran yang sesuai dengan ukuran orang Asia. Dengan tekad dan niat yang baik, Allah SWT tidak pernah menutup jalan bagi umatnya yang terus berdoa dan berusaha, hingga akhirnya suatu ketika ada kawan saya yang akan ke Indonesia. Tentunya kesempatan ini tidak saya sia-siakan, saya titip kepada kawan saya agar dapat dibawakan JILBAB dari Indonesia yang mestinya bisa sesuai dengan ukuran saya. Namun ternyata ujian ini belum berakhir dan memang tidak mudah untuk memutuskan merubah penampilan dengan menggunakan gaun muslimah yang dapat menutup aurat, karena setelah JILBAB ini saya terima dari kawan, saya masih bimbang dan ragu untuk menggunakannya. Saya masih berkaca, apakah saya pantas, apakah saya sudah cocok, apakah tidak akan mengganggu aktivitas saya dan yang utama adalah apakah saya dapat merubah sifat saya. Untuk menutupi kegalauan hati dan perasaan jiwa, saya katakan kepada suami bahwa JILBAB yang ada tidak sesuai dengan ukuran kepala saya (terlalu besar), jawaban itulah yang keluar dari mulut saya ketika suami menanyakan : ”kenapa JILBAB nya belum dipakai” ?. Saya dan suami masih belum menyerah dengan keadaan ini, karena suami saya ingat pesan kawannya: ”Tidak ada yang tidak bisa, yang ada hanya mau atau tidak”. Ketika ada lagi suami kawan saya yang akan ke Indonesia, saya titip lagi JILBAB kepadanya.
Hari pertama saya menggunakan JILBAB keluar rumah di saat pergantian tahun baru tepatnya tanggal 14 Pebruari 2008, setelah saya memaksakan bahwa saya harus mampu melawan godaan dan mengatasi ujian ini, saya mengalami peristiwa yang tidak pernah saya alami sebelumnya selama lebih dari 1 tahun tinggal di negeri ini. Orang-orang yang saya tidak kenal apakah dia wanita maupun pria, mereka memberikan salam dengan ucapan “Assalamu’alaikum” yang tentunya saya terkejut sambil membalas salam mereka dengan ucapan “Wa’alaikumsalam“. Mengalami peristiwa seperti itu di negeri yang mayoritas non muslim, sangat berkesan dan bermakna sekali bagi saya, sehingga semakin menambah keyakinan saya bahwa jika Allah SWT sudah punya kehendak, maka terjadilah "kun fayakuun”, tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghalangi kehendaknya, Maha suci Allah yang di tanganNya memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.
Alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah yang Engkau berikan kepada hamba Mu yang tidak berdaya ini, Allah SWT telah merubah hidup saya, tidak saja dari segi penampilan secara phisik, tetapi juga Insya Allah dari segi mentalitas dan rohani. Saya merasakan adanya perbedaan dalam menjalankan ibadah dan kewajiban saya selaku Muslimah terasa lebih khusuk dan dalam kehidupan sehari-hari, terasa lebih tenang dan menjauhi segala perbuatan yang telah Engkau larang. Untuk mensyukuri anugerah dan hidayah yang telah Allah SWT berikan kepada saya dan keluarga, Insya Allah pada tahun 2008 ini saya berserta suami berencana akan melaksanakan ibadah haji. Mohon doa dari para Pembaca, Terima kasih.

10 Ramadhan 1430H / Kiriman dari Paris - Zulfahmi Zaim

MUSABAQAH "T" QUR'AN

Kita sedang berkhusyuk-khusyuk mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an di Bandar Lampung. Kali ini bahkan para gajah pun ikut memeriahkan.

Tetapi pasti, gajah-gajah itu bukanlah lambing dari sebuah kekuatan yang dulu dilempari batu-batu oleh burung ababil.

Tilawah Al-Qur’am itu bukan saja gagah, indah, namun juga nikmat. Ketika di pesantren Gontor dulu, ketika vocal saya masih pra remaja, masih bersih dan kung, belum kena rokok dan begadang, ‘lagu pop’ saya adalah alunan lagi ayat-ayat Allah. Kalau membaca dalam pertemuan di gedung, saya suka melengking-lengking sambil melirik apa reaksi al-mukarran Kiai. Kalau beliau manthuk-manthuk, hati bagai di siram embun, dada mekar, kepala membesar.

Sekadar untuk pamer: beberapa tahun saya tak terlawan dalam MTQ di pesantren, bahkan se-Kabupaten Ponorogo. Sayang MTQ Nasional belum ada. Padahal kalau ada, saya akan sesumbar, “Lihat saja nanti di atas ring!” sambil nonton persiapan festival reog ponorogo yang mestinya bisa ikut memeriahkan MTQ Nasional itu.
Baru sesudah saya di Yogya, ada MTQ besar-besaran. Bagaikan Laary Holmes, saya pun come back. Merintis dari bawah kembali. Saya daftarkan diri di MTQ tingkat RT dulu di Kadipaten. Saya tanding di Masjid Kadipaten Kidul, dan langsung kalah!
Maka satu-satunya kemungkinan bagi saya sekarang hanyalah menjadi fan-nya para ahli baca Al-Qur’an. Selebihnya hanya rengeng-rengeng ngaji sambil jalan kaki melamun atau naik sepeda memelihara gengsi sosial.

Apakah mungkin diselenggarakan Musabaqah “T” Qur’an yang lain? Jadi, bukan hanya tilawah atau qira’ah. Kabarnya ada juga tafhimul Qur’an, tafsirul Qur’an. Lomba memahami dan menafsirkan. Juga mungkin tarhimul Qur’an. Menyayangi Al-Qur’an. Menyayangi bukan hanya memeluk-meluk kertas Al-Qur’an saja, tapi juga mewujudkan penuh-penuh dalam perilaku.

Ada seorang kawan khawatir bahwa sementara kita berlomba bagus-bagusan baca Al-Qur’an, kalau kita sungguh-sungguh melaksanakan Al-Qur’an dalam hidup ini, ternyata bisa mendapatkan banyak bahaya….

09 Ramadhan 1430H / dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Sabtu, 29 Agustus 2009

HIJAB, MENJAGA FITRAH MUSLIMAH

Ada tiga bagian tubuh perempuan yang wajib ditutupi.Jilbab atau hijab tak bisa dipisahkan dari keseharian wanita Muslimah. Baik di desa maupun di kota, penggunaan jenis pakaian ini semakin meluas dan tak mengenal batas usia. Corak dan ragam hijab juga tampak kian menarik.Agama Islam sejatinya mewajibkan Muslimah mengenakan hijab. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga fitrah, menghormati serta memuliakan mereka.
"Apakah pantas Allah menciptakan tanpa mengetahui apa yang diciptakan-Nya itu? Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui." (QS al Mulk [67]: 14). Dengan berhijab (jilbab), maka perempuan Muslimin akan mudah dibedakan dengan wanita yang berperilaku buruk (al-fujur). Itulah yang bisa menjaganya dari pandangan orang asing.
Pewajiban hijab sebagai penutup aurat tertera dalam Alquran maupun hadis. Seperti pada QS al-Ahzab [33]: 59, "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."Dalam fikih Islam, al-hijab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Terdapat tiga kata yang bermakna sama dengan hijab, yakni al-jilbab, al-khimar serta al-niqab. Mengenai bentuk hijab, masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan fukaha. Ada yang menyatakan jilbab merupakan baju kurung (mula'ah) yang menutupi seluruh tubuh perempuan, kecuali bagian mata. Sedangkan pendapat lain berpendapat jilbab sebagai semacam kerudung (rida) yang menutup bagian atas sampai bawah tubuh perempuan, termasuk wajah.Adapun al-khimar, pengertiannya adalah penutup (al-sitr). Jadi, segala sesuatu yang menjadi penutup disebut al-khimar. Sementara perbedaan maknanya dengan al-hijab, yakni pada al-hijab yakni penutup seluruh tubuh perempuan tanpa kecuali, dan al-khimar diartikan penutup bagian kepala dan dada dari tubuh perempuan.Ini juga berbeda pengertian dengan al-niqab. Di sini, pengertiannya adalah digunakan untuk menutup wajah perempuan saja. Kata-kata al-niqab tersebut tidak pernah ditemukan dalam ayat Alquran, melainkan pada hadis Rasulullah SAW.
Lantas bagaimana ketentuan berhijab? Mayoritas fukaha sepakat, ada beberapa hal yang tidak boleh ditinggalkan. Bagian tubuh perempuan yang wajib ditutupi antara lain seluruh anggota badan selain wajah, dua telapak tangan, dan dua telapak kaki.Hanya ada dua syarat di mana kaum perempuan boleh memperlihatkan bagian tubuh itu. Pertama, ketika hal tersebut tidak menimbulkan fitnah, dan kedua, seperti disebutkan dalam QS an-Nuur [24] ayat 31, "Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka."
Kain tipis
Ketentuan di atas berlaku untuk seluruh perempuan muda. Sementara bagi yang sudah tua, tidak menimbulkan daya tarik bagi laki-laki, tidak wajib menutupi ketiga bagian tubuh itu, sesuai QS an-Nuur [24] ayat 60.Yang penting diperhatikan, kain untuk hijab juga sebaiknya dipilih yang tebal serta tidak tembus pandang. Hal ini untuk menghindari pandangan aurat meski hanya samar-samar, semisal mengenakan kain sutra tipis, cadar tipis, atau stoking (jarab) yang tipis. Bagi agama Islam, pakaian jenis itu sama saja dengan seolah-olah yang mengenakannya adalah tidak berpakaian. "Ada dua penghuni neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sekelompok orang yang dipukul dengan pecut seperti ekor-ekor sapi, dan sekelompok perempuan yang meskipun berpakaian tapi sebenarnya telanjang." (HR Muslim). Pakaian Muslimah itu juga hendaknya tidak yang menyerupai pakaian laki-laki. Baik dari segi bentuk, warna, serta modelnya. Kemudian tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang, serta pula tidak menyerupai pakaian wanita kafir.Ibrahim. Muhammad al Jamal dalam buku Fiqh Wanita, bahwa yang menjadi idaman lelaki berakal justru adalah wanita yang senantiasa berpakaian Islami, yakni wanita yang patuh kepada perintah Allah dan berkemauan keras melaksanakannya. Dengan ukuran demikian, nilai seseorang dapat ditimbang dari kepribadiannya. Wanita yang seperti itu berarti pula dapat ikut mewujudkan suatu masyarakat yang adil makmur, tenteram serta mengangkat nilai-nilai moral agama.
Wallahualambisawab (dirangkum dr berbagai sumber) ]


08 Ramadhan 1430H / Kiriman dari Widi Astuti

Jumat, 28 Agustus 2009

ADAB BERBUKA

Waktu berbuka, adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Waktu yang dinanti-nantikan oleh orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Maka begitu tiba waktu berbuka, terasa gembira dan bahagia sekali. Bahkan detik-detik menjelang berbuka, menjelang beduk berbunyi, rasanya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, dengan angka dan aksara.
Betapa gembira dan bahagianya ketika itu. Terasa memenuhi seluruh rongga, jiwa dan raga. Justru itulah maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang yang berpuasa itu akan mendapat dua kegembiraan sebagaimana sabda beliau: “Orang yang berpuasa itu akan mendapat dua kegembiraan. Yang pertama gembira ketika berbuka, dan yang kedua gembira ketika berjumpa dengan Tuhannya di kemudian hari nanti.”Walaupun berbuka hanya segelas air putih, akan tetapi terasa begitu nikmat ketika meminumnya. Bahkan lebih nikmat bila dibandingkan dengan meminum segelas kopi susu atau teh manis bagi orang yang tidak puasa.
Tapi kendatipun demikian, jangan pula dijadikan waktu berbuka itu seakan tempat melepaskan dendam. Dikarenakan seharian menahan lapar dan dahaga, menahan diri dari bersenggama, dan dari yang membatalkan puasa, maka begitu tiba waktu berbuka semua dimakan dan diminum. Seakan tidak boleh ada makanan dan minuman yang tersisa. Selagi selera masih mau, selagi makanan atau minuman masih ada, semua disikat, tanpa memperhitungkan daya tampung perut dan kekuatannya untuk mencerna. Akhirnya jangankan untuk melaksanakan sholat, mau berdiri dan bangun saja dari tempat duduk sudah terasa payah. Bahkan ada yang sempat muntah karena kekenyangan.
Yang demikian itu bukan saja tidak mendapat pahala dikarenakan tidak mengikuti cara Rasulullah dalam berbuka, akan tetapi tidak jarang mengundang datangnya penyakit. Dimana perut atau usus yang tadinya kosong kemudian diisi sebanyak-banyaknya secara mendadak tanpa didahului dengan mukadimah. Maksudnya dengan minuman atau makanan ringan sebagai pendahulu. Usus yang bagaimana yang tidak akan rusak kalau demikian caranya. Padahal salah satu rahasia puasa itu untuk menjadi orang bertambah sehat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Shuumuu tashih-huu” (Puasalah kamu agar kamu sehat).
Tata Cara Berbuka
Dalam hal berbuka ini ada tata cara yang harus kita ikuti. Tata cara itu sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya yang berbunyi: “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”Hadits Nabi ini menggambarkan kepada kita bagaimana cara berbuka yang baik. Yaitu dengan makanan yang manis, yang lunak dan mudah dicerna. Biasanya Rasulullah SAW kalau berbuka didahului dengan meminum air zam-zam atau air putih yang kemudian diiringi dengan beberapa biji kurma. Yang demikian itu boleh dikatakan sebagai mukadimah. Dengan kata lain, begitu masuk waktu berbuka maka tidak semua langsung dimakan atau disikat.Rasulullah SAW dalam setiap berbuka atau katakanlah setiap waktu makan, tidak pernah terlalu kenyang. Bahkan tidak sampai kenyang. Kurang lebih 2/3 dari perut itu yang diisi, dan 1/3 lagi dikosongkan. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya, bahwa beliau tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.Yang lebih penting untuk diperhatikan dalam berpuasa ini bukan sekedar mengosongkan perut, tapi waktu mengisinya kembali yaitu waktu berbuka perlu diperhatikan. Kalau tidak, bahaya yang akan datang. Justru itu makan dan minum janganlah berlebihan atau kekenyangan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al’araf ayat 31 yang artinya: “Dan makan dan minumlah kamu, akan tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.”Justru itulah masalah makanan ini perlu juga dijaga dan diperhatikan. Maksudnya tidak semua harus dimakan atau ditelan. Akan tetapi harus dipertimbangkan daya tampung perut dan kemampuannya untuk mencerna. Kalau tidak, hal ini nanti akan bisa menimbulkan bencana terhadap fisik. Bahkan bukan hanya sekedar itu. Kata orang-orang ahli Tasawuf “Memperturutkan selera atau kemauan perut dalam masalah makan tanpa ada batas sebagaimana yang digariskan oleh Rasulullah SAW, yaitu berhenti sebelum kenyang, dengan kata lain orang yang makannya banyak, maksudnya setiap makan selalu kekenyangan, juga bisa menjadi penyakit jiwa. Yaitu penyakit loba, tamak dan serakah.”Awali dengan do’a,Setidaknya ketika akan berbuka bacalah bismillah. Dan akan lebih bagus lagi, lalu diiringi dengan do’a. umpamanya do’a sebagai berikut: “Allaahummalaka shumtu wabika aamantu wa‘alaa rizqika afthortu dzahaba zhomau wa abtal-latil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaaa Allaahu ta’alaa birohmatika yaa arhamar-rohimiin.” (Yaa Allah! Karena-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku berbuka. Dahaga telah hilang, urat-urat telah basah (segar). Mudah-mudahan tetap pahalanya. Dengan rahmat-Mu, wahai dzat yang Maha Pengasih)Dan akan bertambah bagus lagi, kalau seusai berbuka, setiap selesai makan, bacalah do’a sebagai berikut: “Alhamdulillaahil- ladzii ath ‘amanaa wasaqoonaa waj’alnaa minasy-syakiriin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan dan minum kepada kami. Dan jadikanlah kami dari golongan orang-orang yang bersyukur)
Mempercepat berbuka.
Mempercepat berbuka di sini bukan berarti berbuka sebelum waktunya, tidak. Akan tetapi begitu tiba waktunya langsung berbuka. Jangan sekali-kali ditunda dengan mengerjakan sholat maghrib terlebih dahulu baru berbuka. Sebab yang demikian itu tidak akan menambah pahala. Tapi kalau kita cepat berbuka, kita akan mendapat pahala dari amalan sunah yang kita kerjakan itu. Sebab mempercepat berbuka itu hukumnya sunah.Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya:“Manusia itu selalu berada dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kemudian ada satu lagi hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya: “Adalah Rasulullah SAW berbuka dengan beberapa biji kurma sebelum Sholat. Memberikan Perbukaan
Bulan Ramadhan ini bulan yang penuh berkah. Bulan di mana amal ibadah kita dilipat-gandakan pahalanya. Justru itulah sebaik-baiknya sedekah itu pada bulan Ramadhan. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Turmuzi dari Anas bin Malik yang berbunyi: “Afdholush shodaqoti shodaqotun fii romadhoona” (Seutama-utamanya sedekah ialah di bulan Ramadhan). Sedekah yang lebih besar lagi pahalanya ialah memberi orang yang berbuka. Hal ini dijelaskan oleh Nabi di dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Achmad dari Zaid bin Khalid yang artinya: “Barangsiapa yang memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berpuasa, niscaya dia akan memperoleh pahala sebagaimana yang diperoleh orang yang mengerjakannya dengan tidak kurang sedikitpun.”Dari keterangan kedua hadits tersebut semakin jelas bagi kita bahwa bersedekah di bulan Ramadhan itu mendapat nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bersedekah di bulan lain. Dengan memberi sedekah kepada orang yang berpuasa dengan jalan memberinya berbuka, akan mendapat pahala yang sama pahalanya dengan orang yang mengerjakan puasa itu.
Wallahualambisawab ( disarikan dari berbagai sumber )

07 Ramadhan 1430H / Kiriman dari Widi Astuti

Kamis, 27 Agustus 2009

SYUAIB BIN PERANG

Syuaib bin Harb nekad. Ia mencegat rombongan Khalifah Harun Ar-Rasyid yang sedang tour. Ia berteriak: “He Harun! Kau sudah menyusahkan rakyatmu, sekarang kau menyusahkan pula binatang kendaraanmu!” Sang Khalifah memang sedang naik kuda.

Tentu saja Syuaib langsung diamankan. Diinterogasi.

“Saudara ekstrimis ini dari golongan mana?”

“Aku dari golongan manusia fana” – jawab Syuaib

“Apakah Saudara ini anak buangan?”

“Aku ini turunan Adam yang sah.”

“Kenapa Saudara berani-berani memanggil saya dengan Harun saja?” – maksudnya kenapa tak pakai Bapak, Paduka, atau Kangjeng.

‘Lho! Tuhan saja kupanggil Allah, tanpa embel-embel, lha kok kamu minta macam-macam? Bukankah kau tahu bahwa Allah memanggil seluruh manusia dengan Muhammad – yang terpuji – kenapa kamu minta aku memanggilmu dengan gelar-gelar? Bahkan namamu itu sendiri tidak penting. Perbuatanmulah yang menentukan apakah sebaiknya kamu dipanggil ‘yang terpuji’ atau dipanggil Abu Lahab…!”

Untung Syuaib bukan warga negara kita. Untung dia tidak hidup bersama kita sekarang ini. Soalnya itu orang maunya nabrak lokomotif. Mungkin karena dia itu bin harb, anak perang, atau putra peperangan.

Untung saja Harun Ar-Rasyid itu bukan sejenis lokomotip.


06 Ramadhan 1430H / Dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Rabu, 26 Agustus 2009

SAYANG DARI ALLAH

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan
berharap engkau akan berbicara kepada KU,
walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur
kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi
dalam hidupmu hari ini atau kemarin .......
Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan
diri untuk pergi bekerja ........
AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap,
AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti
dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk .........

Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama
lima belas menit tanpa melakukan apapun.
Kemudian AKU Melihat engkau menggerakkan kakimu.
AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari
ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk
mendengarkan kabar terbaru.
AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU
menanti dengan sabar sepanjang hari.
Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk
mengucapkan sesuatu kepadaKU.

Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang sekeliling,
mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKU,
itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu.
Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan
melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut
namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU berikan,
tetapi engkau tidak melakukannya ........
masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap engkau akan berbicara kepadaKU,
meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan
banyak hal yang harus kau kerjakan.

Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV,
engkau menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya,
tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yg ditampilkan.
Kembali AKU menanti dengan sabar saat
engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi
kembali kau tidak berbicara kepadaKU ..........

Saat tidur, KU pikir kau merasa terlalu lelah.
Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu,
kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa
sepatahpun namaKU, kau sebut.

Engkau menyadari bahwa AKU selalu hadir untukmu.
AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari.
AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain.
AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan
sepatah kata, do'a, pikiran atau syukur dari hatimu.
Keesokan harinya ...... engkau bangun kembali dan
kembali AKU menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku sedikit waktu untuk menyapaKU ........

Tapi yang KU tunggu ........ tak kunjung tiba ......
tak juga kau menyapaKU.
Subuh ........ Dzuhur ....... Ashyar ...........
Magrib ......... Isya dan Subuh kembali, kau masih
mengacuhkan AKU .....

tak ada sepatah kata, tak ada seucap do'a, dan tak
ada rasa, tak ada harapan dan keinginan untuk
bersujud kepadaKU ...........

Apa salahKU padamu...... wahai UmmatKU………..?????
Rizki yang KU limpahkan, kesehatan yang KU berikan,
harta yang KU relakan, makanan yang KU hidangkan, anak-anak yang
KUrahmatkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat
kepadaKU............!!!!!!!

Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan AKU tetap
berharap suatu saat engkau akan menyapa KU, memohon
perlindungan KU, bersujud menghadap KU ....... Yang
selalu menyertaimu setiap saat .........


Kiriman Efoy Ganefi...

Selasa, 25 Agustus 2009

PR DARI ALLAH

Sudah sepuluh tahun ini kakak Jon ngebet naik haji. Tetapi ia selalu gagal. Padahal ia sudah menempuh berbagai jalan halal.

Kegagalannya itu karena ia terlalu peduli mengdengar keluhan kenalannya. Ia juga peduli dengan tetek bengek urusan desanya yang pasti sepanjang sejarah tidak akan habis.

Waktu pertama kali ia berhasil mengumpul uang. Seminggu sebelum ia mendaftar tiba-tiba madrasah yang dibangun ayah ambruk disambar cleret tahun. Kesempatan berikut juga tertunda gara-gara masjid yang mungkin dibangun sejak zaman wali harus pindah. Sebab terkena pelebaran jalan. Lalu ketika uang calon ONH ngumpul lagi tiba-tiba kupingnya menangkap info kalu cukup banyak jejaka desanya ingin nikah tapi tidak punya beaya. Terpaksa ia keluarkan beaya untuk upacara nikah massal di balai desa.

Setelah itu lama ia tidak kirim kabar tentang niatnya naik haji.

Nah, ketika tahun lalu ia bilang mau naik haji, Jon pun berdoa semoga ia diberi kesempatan memenuhi panggilan Nabi Ibrahim itu.

Jon silaturahmi ke sana setelah menerima telegram bahwa ia akan mendaftar dan mau menyetor ONH ke Bank. Waktu ketemu dengan tersenyum ia bercerita kalau naik hajinya ditunda lagi.

“Kenapa?” tanyaku

“Aku harus menebus sertifikat tanah milik pak Atmojo yang ditahan sebuah rumah sakit gara-gara enam bulan yang lalu ia disambar truk gandeng. Ongkos operasi plus perawatannya mencapai jutaan rupiah. Untung ia berhasil keluar dari rumah sakit itu. Ini berkat sokongan warga desa yang dapat mengumpulkan dana sebanyak separo dari seluruh ongkos. Yang separonya akan dicicil dengan tanggungan surat tanah. Nah dua hari yang lalu tanah pak Atmojo akan disita karena selama ini ia tidak mampu mencicil dan tidak memberi kabar.”

“Jadi ONH-mu kau oper jadi ORS, Ongkos Rumah Sakit?”

Ia mengangguk.

“Saya bersyukur karena Allah yang Bijak selalu mempertemukan aku dengan kewajiban kifayah seperti ini. Mataku masih awas dan telingaku untung masih diberi lobang sehingga info-info dari tetangga cepat masuk,” katanya los.


Dikutip dari Secangkir Kopi Jon Pakir – Emha Ainun Nadjib

Senin, 24 Agustus 2009

Menangis

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh dipedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bersholat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu" Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta’in" .

Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar," berkata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakikat itu."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang mulut para santri.

“Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan,"apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Alloh..iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan."

"Belum jelas benar bagiku, Abah?"

"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.

Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan “iyyaka na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu."

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh..Suatu maqom yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah Alloh dimana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam sholat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum muslim telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh. Maka anak-anakku, betapa mungkin alam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang para santri.

"Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan.Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan ‘wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan.Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Alloh."

Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulutparasantri

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis.Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata sajapun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya."

---Dikutip dari Seribu Masjid Satu Jumlahnya - Tahajjud Cinta Seorang Hamba - Emha Ainun Nadjib

Minggu, 23 Agustus 2009

Ketika Engkau Bersembahyang

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan Allahu Akbar

Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

Puisi oleh EMHA AINUN NADJIB

Kamis, 20 Agustus 2009

Jelang Ramadhan

Andai kita tahu ini Ramadhan terakhir..
Masih ada kesempatan untuk melaksanakan sholat di awal waktu
Sholat yang dikerjakan.. .sungguh khusyuk lagi tawadhu'
Tubuh dan qalbu...bersatu memperhamba diri menghadap Rabbul Jalil...
Menangisi kekurangan janji
"Innasolati wanusuki wamahyaya wamahmati lillahirabbil 'alamin"
[sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku, dan matiku………]
Andai kita tahu ini Ramadhan terakhir.. ..
Tidak akan kita sia-siakan walau sesaat yang berlalu
Setiap masa tak akan dibiarkan begitu saja
Di setiap kesempatan, juga masa yang terluang
Alunan Al-Quran senantiasa kita bacakan dan perdengarkan kehadapan MU ...
Ya Rabb
Andai kita tahu ini Ramadhan terakhir..
Setiap malam kita sibukkan dengan bertarawih.. .berqiamullail. ..bertahajjud. .. Mengadu...merintih. ..meminta belas kasih
Sesungguhnya aku berharap untuk ke syurga-MU dan....
Aku tak sanggup untuk ke neraka-MU"
Andai kita tahu ini Ramadhan terakhir..
Kita akan selalu bersama dengan mereka yang tersayang
Kita isi Ramadhan dengan hal yang bermanfaat
Kita buru...kita cari..suatu malam idaman yang lebih baik dari seribu bulan
Andai kita tahu ini Ramadhan terakhir..
Kita bakal menyediakan batin dan zahir
Mempersiapkan diri...rohani dan jasmani
Menanti-nanti jemputan Izrail
Di kiri dan kanan ...
Lorong-lorong ridha Ar-Rahman
Duhai Ilahi....
Andai ini Ramadhan terakhir buat kami
Jadikanlah Ramadhan ini paling berarti...paling berseri...
Menerangi kegelapan hati kami
Menyeru ke jalan menuju ridho serta kasih sayangMu ...Ya Ilahi
Yang bakal mewarnai kehidupan kami di sana nanti
Namun sahabat....
Tak akan ada manusia yang bakal mengetahui
Apakah Ramadhan ini merupakan yang terakhir kali bagi diri kita
Yang mampu bagi seorang hamba itu hanyalah berusaha...
Bersiap-siap ...bersedia ...
Meminta belas kasih-NYA
Ramadhan,
Bulan dimana nafas kita menjadi tasbih,
Tidur kita menjadi ibadah
Amal kita diterima dan do'a kita di ijabah,
Sebelum cahaya surga padam,
Sebelum hidup berakhir.
Selamat menjalankan ibadah puasa ya..

01 Ramadhan 1430H / dikutip dari pesan sahabat Widi Astuti

Rabu, 12 Agustus 2009

KATA ORANG

Kata orang, masa-masa paling menyenangkan dalam hidup adalah ketika masa SMA. Karena, kata orang, masa itu adalah masa peralihan antara remaja dan jadi dewasa. Pada masa SMA itu, kata orang, umur 17 tahun dilalui. Umur 17 tahun, kata orang, adalah umur peralihan antara remaja dan jadi dewasa. Di umur itulah, kata orang, orang tua kita memperbolehkan kita untuk menonton film 17 tahun keatas. Walaupun, kata orang, banyak juga dari kita yang mencuri-curi kesempatan untuk menonton film 17 tahun keatas sebelum mencapai usia 17 tahun.


Pada masa SMA itu pula, kata orang, kita melirik-lirik teman sekolah untuk menjadi teman dekat. Kata orang, pacaran gitu deh. Makanya, kata orang, tidak sedikit pasangan suami istri adalah pasangan yang telah menjalin hubungan sejak masa SMA.


Kata orang juga, kenangan masa SMA adalah kenangan yang paling sulit dilupakan. Alasannya, kata orang, karena masa SMA itu lebih banyak kenangan yang manis, lebih banyak suka dari dukanya. Hampir semua orang, kata orang, mengalaminya. Baik pada saat itu, ia menjadi murid yang pintar, yang tidak terlalu pintar, yang bandelnya keterlaluan, sehingga harus seringkali berhadapan dengan wali kelas atau guru BP atau bahkan Kepala Sekolah, sampai yang bandelnya wajar-wajar saja. Di masa itulah, kata orang, seseorang berusaha menampilkan jati diri sebagai ‘seseorang’.


Reuni (atau lebih tepat kalo kita sebut ‘silaturrahim’ aja), kata orang, menjadi sebuah ajang untuk me-rewind kembali ingatan kita akan masa-masa SMA itu. Semua hal akan kenangan masa itu, kata orang, menjadi bahan pembicaraan untuk selanjutnya kita bisa tertawa atau hanya sekedar tersenyum. Mengenang lagi kekonyolan kita dulu, kata orang, bisa bikin awet muda.


Mengingat-ingat lagi Guru-guru yang baik, yang galak, yang perhatian, yang cantik, yang cerewet, jadi bahan pembicaraan menarik. Layak rasanya untuk kita iringi dengan doa bagi mereka para guru. Meski hanya 3 tahun, mereka adalah bagian dari perjalanan hidup kita yang ikut menanamkan dasar-dasar moral dan etika serta ilmu.


Kalau mengingat lagi kenangan akan teman-teman, agak susah dituangkan dalam tulisan, karena kata orang, tidak akan pernah habis cerita masa SMA dulu. Meski silaturrahim diadakan 7 hari 7 malam, cerita-cerita masa SMA tidak akan tuntas… tas…. tas….


Sahabat, saat ini, telah lebih dari seperempat abad masa itu berlalu. Pada silaturrahim yang baru saja kita adakan beberapa waktu lalu, terkuak lagi semua kenangan itu. Wajah-wajah kita telah mulai menunjukkan garis ketuaan. Keriput. Banyak dari kita yang telah menjadi orang ‘besar’. Sebagian lagi telah atau mulai kehilangan ‘mahkota’. Gak usah dihitung lagi yang ‘mahkota’nya telah mulai menampilkan warna silver.


Persahabatan yang dulu pernah kita jalin, yang sempat terurai karena waktu, sedikit demi sedikit mulai terangkai kembali. Sahabat, kata orang, sahabat tetaplah sahabat, meski waktu sempat mengurainya, ia akan terangkai lagi manakala silaturrahim kembali terjalin.


Benarkah? Wallahualam, kata orang.