Duo Menel

Duo Menel
Patung Welkom 3183

Kamis, 17 September 2009

TIDAK MERASA MEMILIKI HARTA

“Kemarin ada orang yang dating ke kampung saya memberikan 200 buah sarung dan 200 mukena untuk fakir miskin”

O, itu tho? Ya, Alhamdulillah kalau ada orang yang dermawan seperti itu.

“bukan itu saja, Mat!” kata sarto lagi, “bersamaan dengan itu pula ia menyumbang empat ribu bibit pohon mangga ke kampung sebelah.”

“Alhamdulillah,” seru Mat Kacong, “ia tentu orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

“Tidak itu saja,” ujar Sarto lagi, “tiga hari yan lalu orang itu telah membagikan empat puluh ekor kambing di kampung yang lain untuk meningkatkan harkat kehidupan masyarakat yang tidak mampu. Saya tidak habis pikir, benar-benar tidak habis pikir.”

“Jangan hanya bilang tidak habis pikir, ucapan itu tidak ada gunanya. Ucapkan saja Alhamdulillah, itu artinya, sambil takjub kepada seseorang kamu juga berzikir kepada Allah. Aku senang mendengar berita yang sangat menggembirakan itu. Maha Suci Allah yang telah memberi iman kepada dermawan yang kau sebut itu, emannya ia buktikan dengan sedekah. Semoga ia menjadi kekasih Allah.”

“infak yang banyak ia taburkan ke mana-mana menunjukan ia memang orang yang kaya.”

“Barangkali ia sudah tidak merasa kaya,” komentar Mat Kacong.

“Kalau tidak kaya, mana mungkin ia membagikan sedekah sebanyak itu, Mat?”

“Sobat, hendaknya kamu tahu! Orang kaya yang dermawan tidak pernah merasa memiliki harta. Ia hanya merasa ‘pengurus’ harta dan kekayaan Allah untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang lemah yang sangat membutuhkannya.”


27 Ramadhan 1430H / Dikutip dari Sate Rohani dari Madura – D. Zawawi Imron.

Rabu, 16 September 2009

MERENDAHKAN DIRI

Manusia boleh ingin jadi dokter, jadi insinyur, para pria ingin mengawini peragawati, para wanita ingin jadi seperti peragawati, atau apa saya. Tapi malaikat, pekerjaannya cuma satu. Yakni mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Karena itu, malaikat suci bukan buatan. Bahkan mereka hanya memiliki kesucian. Malaikat yang mana saja. Baik Malaikat yang, katanya besarnya ribuan kali alam semesta. Yang terbuat dari salju. Yang lembut seperseribu tepung terigu. Atau Malaikat yang tak tergambarkan oleh konsep tiga dimensi yang dimengerti oleh manusia.

Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan oleh Allah lebih tinggi daripada Malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud kepada Adam?

Tentulah karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi peluang untuk memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya dihadapan Allah dibanding Malaikat. Apalagi dibanding iblis.

Salah satu nilai kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah merendahkan diri. Betul-betul merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan, kita bilang, “lho, saya kan bukan Malaikat!” Kita melakukan kelicikan atau kekejaman, dalam skala personal maupun sistemik, dan itu kita sebut manusiawi. Seringkali bahkan kita gagal memelihara standar kemanusiaan, terpeleset ke perilaku kebinatangan. Dan kita menghibur diri – “Toh saya bukan Malaikat”.

Padahal kita bisa lebih tinggi derajatnya dari Malaikat.

Padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan tawadhu’ (rendah hati).


26 Ramadhan 1430H

Selasa, 15 September 2009

SANG WAKTU

Ramadhan rasanya tinggal beberapa detik lagi. Senin nanti – atau minggu? – sudah Idul Fitri. Alangkah cepatnya. Sang waktu ini aneh. Terkadang begitu lambat dan memuakkan, di saat lain berlalu terlalu cepat dan menggemaskan.

Ternyata sang waktu tak bisa diukur oleh satuan ‘cepat’ atau ‘lambat’, sebab yang cepat dan lambat itu perasaan manusia. Dan perasaan kita itu ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kemana kita melangkah, dan untuk apa kita menuju ke sana.

Kalau kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, waktu jadi cepat. Kalau yang kita lakukan susah, waktu jadi lambat. Kalau kita melangkahi rakaat-rakaat tarawih, waktu lambat. Kalau kita nonton, waktu bukan main cepat. Kalau tujuan kita duniawi, waktu cepat. Kalau tujuan kita ukhrawi, waktu terasa memuakkan.

Itulah pertarungan antara jiwa melawan darah daging.

Sang waktu tidak cepat tidak lambat. Kitalah yang diberi kemerdekaan oleh Allah untuk memilih cepat atau lambat, sementara atau abadi, semu atau nyata.

Jadi kalau ramadhan terasa cepat bagi kita, Alhamdulillah, kita mungkin sudah semakin ukhrawi, semakin ‘Ilahiah’. Amien.

Karena memang demikianlah. Besok atau lusa kita akan mati. Begitu banyak hal pada kita yang akan berhenti dan sirna. Tapi karena shiratal mustaqim, tatkala nanti memasuki kubur, ada yang tak mati dari kita, yaitu amal. Amal mengabadikan kita.

Wallahualam…


25 Ramadhan 1430H

Senin, 14 September 2009

TAHAJJUD CINTAKU

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya


24 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib - 1988

Minggu, 13 September 2009

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!


23 Ramadhan 1430H / Emha Ainun Nadjib - 1987